Teori tektonik lempeng menyatakan bahwa lempeng benua yang ada sekarang mengapung diatas lapisan batuan yang lebih berat dan cair yaitu astenosfer. Pergerakan lempeng ini disebabkan oleh adanya dorongan dari arus konveksi mantel.
Teori tektonik lempeng juga menyatakan bahwa Bumi terdiri dari lapisan dalam dan luar, lalu dibagi-bagi lagi berdasarkan karakteristik fisik maupun kimiawinya. Lapisan luar meliputi litosfer dan astenosfer, sedangkan lapisan dalam meliputi mantel dan inti.
Sejarah Teori
Teori tektonik lempeng diprakarsai oleh Alfred Wegener yang menulis dalam bukunya The Origin of Continents and Oceans. Wegener memperkenalkan teori continental drift atau apungan benua.
Pada awalnya, semua benua menjadi satu yaitu supercontinent atau benua super bernama Pangaea. Dikarenakan suatu gaya tertentu, supercontinent tersebut terpecah menjadi beberapa bagian, yang kemudian diberi nama Gondwana dan Laurasia. Pergerakan benua ini diibaratkan layaknya sebuah bongkahan es yang bergerak di lautan.
Bukti yang mendukung teori tektonik lempeng ini ada 3 yaitu faktor biologi, geologi, dan klimatologi. Dari segi biologi, bukti paling kuat adanya teori tektonik lempeng ini adalah tersebarnya fosil Mesosaurus di beberapa tempat yang berbeda benua dan juga dibatasi oleh laut, sehingga diasumsikan bahwa pada zaman dahulu, tempat-tempat tersebut lebih dekat dan dihubungkan oleh jalur darat.
Dari segi geologi, terdapat beberapa kesamaan lapisan batuan dan pola batuan di benua yang berjauhan. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa pada zaman dahulu, benua-benua tersebut pernah bersatu.
Contoh paling mudah adalah pegunungan Appalachian serta Adirondacks yang tergabung dalam Greenville Orogeny, dan Pegunungan Caledonian serta Skandinavian yang tergabung dalam Caledonian Orogeny.
Dari segi klimatologi, terdapat banyak deposit batu bara pada wilayah-wilayah non-tropis, seperti Kutub Utara, Siberia, Eropa, serta Amerika Utara. Padahal, batubara hanya dapat terbentuk di wilayah tropis atau iklim hangat yang memiliki banyak hutan.
Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu pernah berada pada wilayah tropis, sehingga memperkuat asumsi bahwa kontinen-kontinen selalu bergerak.
Lalu ada pula bukti pendukung yang dianggap membenarkan teori tektonik lempeng, bukti pendukung tersebut antara lain adalah adanya mid oceanic ridge, terbuktinya palaeomagnetism, dan juga dukungan dari teori Seafloor spreading milik Harry Hess.
Mengapa Lempeng Bumi Bergerak?
Anggapan umum mengenai alasan lempeng bergerak adalah karena berat dari kerak samudra dan cairnya lapisan astenosfer.
Energi awal pergerakan lempeng disuplai oleh arus konveksi dari mantel yang merupakan salah satu metode perambatan panas bumi. Namun, sekarang ada beberapa teori baru mengenai alasan awal pergerakan lempeng, mulai dari berat jenis kerak samudra hingga gaya rotasi bumi.
Kali ini akan dibahas 3 gaya yang mempengaruhi pergerakan lempeng bumi, yaitu dinamika gravitasi-lempeng, dinamika dalam mantel, dan rotasi bumi.
Dinamika Mantel
Hampir semua ilmuan setuju bahwa arus konveksi yang berasal dari mantel merupakan pendorong pergerakan lempeng bumi. Arus konveksi ini terjadi dalam skala besar sehingga dapat menembus astensofer dan mempengaruhi lithosfer yang berada diatasnya. Teori ini dikembangkan oleh Arthur Holmes pada tahun 1930, untuk memberikan alasan mengapa benua dapat bergerak seperti prediksi Wegnener.
Terdapat dua gaya yang dianggap dapat mempengaruhi pergerakan lempeng. Kedua gaya tersebut adalah
- Basal Drag (gaya gesek): Lempeng bergerak mengikuti arus konveksi karena terdapat gaya gesek antara arus konveksi dengan lempeng di astenosfer.
- Slab Suction (gravitasi): Lempeng bergerak dipengaruhi oleh lempeng yang sudah mengalami subduksi dan masuk kedalam mantel. Gaya gesek antara lempeng dengan arus konveksi akan menarik lempeng semakin jauh kedalam mantel.
Untuk membuktikan kebenaran dari teori ini, telah dilakukan modelling 3 dimensi dari interior bumi untuk menemukan arus konveksi mantel.
Namun, hingga saat ini belum ditemukan formasi arus konveksi yang cukup besar untuk menjelaskan adanya pergerakan lempeng.
Solusi yang kerap ditawarkan untuk permasalahan ini adalah adanya kanal-kanal kecil magma dibawah permukaan bumi yang memberikan gaya gesek kepada litosfer.
Teori ini dikenal sebagai surge tectonics dan cukup populer pada tahun 1980an. Riset terbaru menyatakan bahwa pergerakan lempeng dipengaruhi oleh umpan balik antara arus konveksi dan kekuatan struktur lempeng.
Dinamika Gravitasi-Lempeng
Gaya gravitasi umumnya dianggap sebagai pendorong sekunder terjadinya pergerakan lempeng jika dibandingkan dengan dinamika mantel diatas.
Terdapat dua kasus dimana gravitasi berperan besar dalam mempengaruhi pergerakan lempeng, yaitu pada saat
Ridge push: Lempeng baru yang berada dekat dengan mid-ocean ridge memiliki berat jenis yang lebih ringan karena masih baru terbentuk.
Lama kelamaan, lempeng ini akan mengalami subsidensi karena ada peningkatan berat jenis seiring dengan mendinginnya lempeng. Hal ini menyebabkan terdapatnya perbedaan ketinggian antara lempeng muda di mid-oceanic ridge dan lempeng tua di zona subduksi.
Perbedaan ketinggian ini pun menyebabkan tekanan lebih pada lempeng tua sehingga mereka bergerak menjauhi mid oceanic ridge dan mengalami subduksi.
Sebenarnya tidak tepat jika fenomena ini dinamakan ridge push karena tidak ada yang mendorong, yang ada hanya tenggelamnya lempeng dikarenakan gravitasi.
Oleh karena itu, fenomena ini memiliki nama lain yaitu gravitational sliding.
Slab Pull: Menurut pendekatan ini, fenomena pergerakan lempeng disebabkan oleh gaya tarik dari lempeng dingin dan berat yang mengalami subduksi.
Gravitasi akan menarik lempeng tersebut masuk kedalam mantel sehingga lempeng bergerak. Selain gravitasi, terdapat pula gaya hisap dari zona subduksi yang dapat mempengaruhi gerak lempeng.
Mantle Doming: Teori ini menyatakan bahwa bentuk mantel tidak rata dan ada daerah yang lebih tinggi atau cembung dibandingkan lainnya. Fenomena ini menyebabkan lempeng bergerak tergelincir ke area yang lebih rendah, yaitu zona subduksi.
Rotasi Bumi
Menurut Wegener, terdapat pula gaya sentrifugal dan tidal yang menyebabkan terjadinya continental drift. Gaya gaya yang dianggap dapat mempengaruhi pergerakan lempeng adalah
- Gaya tidal drag antara bulan dan matahari dengan bumi
- Deformasi geoid global
- Deformasi bumi dikarenakan putaran dan orbitnya
Namun gaya sentrifugal dan koriolis dianggap terlalu lemah untuk memiliki dampak yang besar pada pergerakan lempeng.
Pada teori ini, dipercaya bahwa bulan dan matahari selalu menarik lempeng bumi ke arah barat sesuai dengan putaran kita secara perlahan. Lama kelamaan, tarikan halus ini akan mempengaruhi pergerakan lempeng bumi.
Teori ini memiliki dasar preseden yang tidak terlalu kuat dan bukti eksperimental yang tidak kuat pula. Oleh karena itu, teori ini jarang digunakan ketika menjelaskan mengenai pergerakan lempeng.
Gerakan Lempeng Bumi
Dalam memahami pergerakan lempeng bumi dan dampaknya pada bentang alam, kita harus terlebih dahulu mengetahui poin-poin penting sebagai berikut
- Karena masa jenisnya yang lebih rendah, kerak benua tidak bisa tenggelam sehingga kerak benua bersifat permanen di muka bumi, sedangkan kerak samudra yang lebih berat bersifat sementara karena setiap bertabrakan kerak benua akan mengalami penenggelaman atau subduksi
- Lempeng benua, seperti lempeng Eurasia dapat terbentuk dari kerak benua maupun kerak samudra.
- Kerak benua dapat berada jauh diluar batas benua yang bersangkutan
- Lempeng tidak dapat menempati tempat yang sama, jika ada, maka salah satu harus naik dan menjadi gunung atau turun dan dihancurkan di mantel.
- Tidak ada gap antar lempeng, jika ada dua lempeng yang saling bergerak berjauhan, maka kerak samudra baru akan terbentuk di lokasi tersebut
- Bumi tidak membesar ataupun mengecil. Jika ada kerak samudra yang diciptakan di suatu tempat, maka ada kerak samudra pula yang dihancurkan di tempat lainnya.
- Gerakan lempeng umumnya lambat dalam skala waktu manusia, jika ada yang bergerak tiba-tiba, dapat digolongkan sebagai gempa bumi
- Umumnya bentang alam tektonis ditemukan di dekat batas lempeng (plate boundaries).
Gerak Konvergen
Konvergen adalah gerakan dimana dua lempeng bertemu, kondisi ini dapat menyebabkan fenomena subduksi jika terdapat lempeng yang lebih berat atau sama-sama berat, dan fenomena kolisi jika lempeng sama-sama ringan.
Contoh fenomena subduksi antara kerak benua dengan kerak samudera adalah pada bagian selatan Pulau Jawa.
Untuk fenomena kolisi, contohnya adalah Pegunungan Himalaya di perbatasan antara India dan Nepal. Pegunungan ini terbentuk akibat tumbukan antara lempeng benua Eurasia dan kerak benua subkontinen India.
Gerakan subduksi antara lempeng samudera dengan samudera contohnya adalah Kepulauan Mentawai, Aleutian, West Indies, dan Filipina, gerakan ini akan menciptakan bentang alam island arc.
Gerakan konvergen merupakan salah satu penyebab adanya pegunungan di muka bumi. Gerakan kolisi dapat menciptakan barisan pegunungan, sedangkan subduksi menciptakan barisan pegunungan vulkanik.
Subduksi dan kolisi juga dapat menyebabkan terjadinya pegunungan lipatan pada wilayah lempeng yang ditekannya karena terdapat deformasi batuan.
Gerak Divergen
Divergen adalah gerakan dimana kedua lempeng saling menjauh satu dengan yang lainnya, kondisi ini dapat menyebabkan adanya mid oceanic ridge ataupun rift valley.
Rift valley adalah fenomena dimana lempeng benua terbelah menjadi dua karena terdapat intrusi magma ditengah-tengah lempeng tersebut. Intrusi magma ini umumnya disebabkan oleh adanya gerakan arus konveksi yang mendorong lempeng tersebut ke dua arah yang berbeda. Sehingga terbelah di lokasi dorongannya.
Contoh dari fenomena rift valley adalah East African Rift Valley (Great Rift Valley).
Rekahan tengah samudra adalah fenomena dimana kerak Samudra terbelah menjadi dua bagian. Hal ini terjadi karena ada dorongan dari magma yang bergerak keatas dari dalam perut bumi. Mid oceanic ridge menciptakan lempeng samudera baru setiap saat. Oleh karena itu, semua samudera yang memiliki mid oceanic ridge umumnya bersifat melebar.
Contoh dari mid oceanic ridge adalah Mid Atlantic Ridge dan East Pacific Rise,
Gerak Transform


Transform adalah gerakan dimana kedua lempeng bergerak berbeda arah namun saling bergesekan ibarat kita menggesekkan tangan. Contoh paling terkenal dari gerakan transform adalah sesar San Andreas.
Terdapat perbedaan antara pergerakan transform dengan strike slip. Transform terjadi antara dua lempeng yang berbeda, sedangkan strike slip berada dalam satu lempeng, contoh strike slip adalah sesar lembang.
Pada gambar diatas, garis ganda yang ada di atas dan bawah transform fault adalah batas lempeng divergen yang mendorong pergerakan lempeng.
Tipe Gerak | Deskripsi Perubahan | Contoh |
Divergen /Konstruktif | 2 lempeng bergerak menjauh | Mid-Atlantic Ridge
East Pacific Rise |
Subduksi | Kerak samudra menabrak kerak benua dan tenggelam di dalam mantel |
Pegunungan Andes ( Lempeng Nazca dan Amerika Selatan)Pegunungan Rockies ( Lempeng Juan De Fuca dan Amerika Utara) Rangkaian pulau Aleut dan West Indies |
Kolisi | Kerak benua menabrak kerak benua, keduanya bergerak keatas menjadi pegunungan | Himalaya (Lempeng India dan Eurasia)Alps (Lempeng Afrika dan Eurasia) |
Transform | Dua kerak bergerak bergesekan |
Sesar San Andreas |
Continental Shield dan Craton
Secara umum, bagian tengah dari lempeng bersifat stabil secara tektonik, zona ini disebut sebagai shield lands atau craton. Karena erosi, depresi pada pinggiran daerah shield tersebut yang dapat berevolusi menjadi daerah aliran sungai.
Contoh dari daerah shield ini adalah Canadian Shield dan Brazillian Shield, sedangkan contoh dari depresi yang berada di pinggir shield tersebut adalah sistem sungai Mississippi-Missouri dan Amazon.

Tidak semua bagian tengah lempeng bersifat stabil, terdapat pula lempeng yang tidak stabil, contohnya adalah lempeng Afrika.
Lempeng Afrika saat ini sedang terbelah dua dan disinyalir akan menjadi 2 lempeng baru, perpisahan ini terjadi di daerah Great Rift Valley dan laut merah.
Penyebab dari terpisahnya lempeng ini belum jelas, namun diduga disebabkan oleh adanya arus konveksi yang muncul di tengah-tengah lempeng tersebut.
Implikasi Teori
Teori tektonik lempeng menunjukkan bahwa lempeng-lempeng di Bumi bergerak secara dinamis dan saling mempengaruhi, oleh karena itu, dalam merencanakan segala sesuatu, kita harus mempertimbangkan pergerakan lempeng tersebut.
Pergerakan lempeng yang bersifat transform atau konvergen seperti kolisi dan subduksi harus diwaspadai ketika akan dilakukan pembangunan infrastruktur dan pusat populasi, posisi konvergen dan transform akan menyebabkan potensi bahaya tektonik yang tinggi.
Bahaya tektonik ini dapat berupa gempa bumi, sesar dan rekahan tanah, atau dalam bentuk vulkanisme gunung api.

Daerah pertemuan antara dua atau lebih lempeng dan wilayah sekitarnya umumnya memiliki potensi bencana yang lebih tinggi dibandingkan wilayah yang jauh dari pertemuan lempeng.
Selain itu, wilayah yang berada pada zona subduksi juga umumnya lebih rawan bencana dibandingkan zona kolisi dan transform.
Zona subduksi dianggap lebih berbahaya karena dapat menimbulkan vulkanisme dan gempa bumi yang nantinya juga dapat menyebabkan tsunami, sedangkan zona transform dan kolisi hanya dapat menyebabkan gempa bumi. Gempa bumi yang dihasilkan umumnya tidak dapat menyebabkan tsunami.
Contoh dari negara yang secara sukses mengaplikasikan teori tektonik lempeng dengan perencanaan serta pengelolaan wilayah terbangunnya adalah Jepang.
Jepang telah mengaplikasikan zonasi bencana, mitigasi, serta pendidikan bencana yang berhasil menekan angka korban serta kerugian akibat gempa dan tsunami, meskipun mereka berada pada titik pertemuan dua lempeng dan terdapat zona aktif Fossa Magna.
Meskipun begitu, zona aktif tektonik lempeng juga dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar.
Aktivitas tektonik yang aktif dapat menyebabkan siklus batuan menjadi lebih cepat, sehingga batu-batu dan mineral yang terkubur di dalam perut bumi dapat keluar dan menjadi barang tambang.