Kita sering bertanya tanya mengapa suatu perusahaan memilih lokasi tertentu untuk mendirikan pabrik. Apakah karena lokasi tersebut lebih dekat dengan pasar, apakah lebih dekat dengan sumberdaya, atau apakah karena faktor-faktor lain.
Dalam menentukan lokasi pabrik, perusahaan umumnya menggunakan analisis cost-benefit. Kali ini, kita akan membahas dua teori penentuan lokasi industri, yaitu Weber dan Moses.
Aktivitas ekonomi dan jumlah output suatu wilayah bergantung pada faktor input yang tersedia pada wilayah tersebut. Sedangkan, kekayaan suatu wilayah dipengaruhi oleh keuntungan yang diterima oleh faktor-faktor input tersebut.
Untuk memahami performa ekonomi suatu wilayah, wajib bagi kita untuk memahami pula persebaran dan perkumpulan faktor input, serta neraca untung-ruginya. Data-data ini dapat diolah menjadi informasi produk domestik bruto suatu daerah.
Input dari faktor produksi dibagi menjadi tiga yaitu modal, lahan, dan tenaga kerja. Selain itu, dihitung pula keuntungan (faktor pembayaran) yang diterima oleh faktor-faktor tersebut. Keberadaan dari faktor produksi menjadi penentu dari ada atau tidaknya suatu industri di area tertentu.
Jika terdapat banyak faktor produksi, maka lokasi tersebut akan cenderung mengalami aglomerasi, jika terdapat sedikit faktor produksi, maka tidak akan ada industri.
Teori Lokasi Produksi Weber
Dalam teori Laundhart dan Weber, diasumsikan bahwa firma/perusahaan adalah suatu titik dalam ruang dan perusahaan tersebut berupaya untuk memaksimalkan keuntungan.
Oleh karena itu, lokasi yang ditempati oleh perusahaan tersebut akan berkorelasi dengan lokasi yang memberikan potensi keuntungan terbesar.

Dari grafik diatas, kita dapat berasumsi bahwa pada kondisi ideal yaitu w(M) = w(S1) + w(S2), dan t(M) = t(S1) = t(S2). Lokasi P akan bergantung pada nilai minimum biaya yang harus dikeluarkan untuk memindahkan input ke pabrik dan output ke pasar. Persamaan ini jika disingkat, akan menjadi P = minimum ∑ (w,t,d)
Asumsi Model Weber
- Topografi yang homogen
- Biaya transportasi yang homogen
- Kualitas dan gaji pekerja yang homogen
- Persaingan bebas dan perusahaan dapat menjual produk dalam jumlah tak terhingga
- Modal tersedia secara homogen
Efek Biaya Transportasi Input Terhadap Lokasi
Biaya transportasi input yang diperlukan oleh suatu perusahaan memiliki dampak yang besar terhadap penempatan lokasi perusahaan. Semakin mahal biaya transportasi yang diperlukan oleh suatu input, maka perusahaan akan cenderung menempati lokasi yang dekat dengan sumber input tersebut.
Contoh dari efek ini adalah industri mainan, industri tersebut membutuhkan 2 input utama yaitu plastic (S1) dan besi (S2). Rasio produk yang dibutuhkan untuk membuat 1 mainan adalah 2 plastik : 1 besi, sehingga jika kita ingin memproduksi 3 ton mainan, diperlukan 2 ton plastic dan 1 ton besi.
Karena biaya transportasi dihitung berdasarkan berat, maka biaya untuk memindahkan plastic adalah 2x lipat biaya untuk besi, sehingga perusahaan akan cenderung menempati lokasi yang dekat dengan sumber seperti gambar diatas yang dilambangkan dengan P hijau.
Jika kita berbicara mengenai pabrik baja yang membutuhkan batubara (S1) dan besi (S2) pada rasio 3:1, maka kemungkinan besar P akan berlokasi di titik alternative yang berwarna merah.
Efek Biaya Transportasi Output Terhadap Lokasi
Biaya transportasi dari output juga memiliki pengaruh yang besar terhadap lokasi dari suatu perusahaan. Jika biaya input mempengaruhi penempatan perusahaan relative terhadap salah satu sumber input, maka biaya output mempengaruhi penempatan perusahaan relative terhadap kedua sumber input dan pasar.
Contoh dari efek biaya transportasi adalah pada industri pengolahan mineral seperti pemurnian emas dan timah atau agrikultur seperti meubel dan pertanian. Industri ini umumnya berlokasi dekat dengan sumber input karena sulit untuk memindahkan bahan input, selain itu output yang dihasilkan umumnya lebih ringan jika dibandingkan dengan inputnya. Industri ini umumnya dicirikan dengan banyaknya produk buangan yang tidak terpakai, industri seperti ini dikenal sebagai weight losing industry.
Pada industri khusus seperti kimia berat ataupun kendaraan, terkadang berat input lebih ringan dibandingkan dengan output sehingga biaya transportasi input lebih rendah dari output. Oleh karena itu, lebih murah untuk menempatkan pabrik dekat dengan pasar. Industri seperti ini dikenal sebagai weight gaining industry.
Lain halnya dengan industri minuman ringan. Industri ini memerlukan air dalam jumlah besar, namun output yang dihasilkan juga memiliki berat yang sama. Oleh karena itu, industri ini disebut footloose atau bebas untuk berlokasi di sumber input ataupun di dekat pasar.
Efek Perubahan Biaya Faktor Lain Terhadap Lokasi
Selain biaya transportasi, terdapat pula faktor lain yang bisa menggeser lokasi optimum dari suatu perusahaan, faktor tersebut adalah harga tanah dan biaya tenaga kerja.
Pergeseran lokasi optimum tersebut dapat digambarkan dengan garis-garis isodapane, yaitu garis yang menghubungkan lokasi dengan biaya transportasi yang sama.

Semakin jauh pusat produksi bergerak dari titik optimum p, maka semakin tidak efisien perusahaan tersebut. Hal ini dikarenakan biaya transportasi yang meningkat. Selain itu, perusahaan juga mengalami opportunity cost yang semakin tinggi, karena seharusnya modal dapat digunakan di sektor lain.
Agar suatu perusahaan mau berpindah, maka penghematan dari faktor lokal seperti harga tanah dan tenaga kerja harus melebihi peningkatan biaya transportasi tersebut.
Sebagai contoh, perusahaan yang titik optimumnya berada pada p disarankan untuk berpindah ke titik L2, namun penghematan faktor lokal pada lokasi tersebut hanya 15p. Sebaiknya perusahaan tersebut tidak berpindah ke titik L2.
Lain hal nya dengan perusahaan lain yang juga berlokasi di titik p, perusahaan tersebut disarankan untuk berpindah ke titik L1, dengan estimasi penghematan sejumlah 15p. Perusahaan tersebut sebaiknya berpindah karena akan menghemat 5p per unit produk.
Penghematan ini berasal dari selisih antara kenaikan biaya transportasi dan penghematan faktor lokal.
Konsep ini akan sangat berguna bagi perusahaan yang ingin melakukan pembangunan pabrik padat-karya yang tidak terlalu bergantung kepada sumberdaya input. Contohnya adalah manufaktur barang elektronik yang sekarang sudah sebagian besar dipindahkan ke China atau negara Asia Timur. Padahal, sumber daya alamnya berasal dari Afrika dan sumberdaya modal serta idenya berasal dari Amerika Serikat.
Offshoring dan outsourcing merupakan aplikasi nyata dari konsep biaya faktor-faktor lain terhadap penempatan lokasi suatu sentra produksi dalam perusahaan.
Efek Sumber Input dan Pangsa Pasar Yang Baru
Perubahan lokasi optimum suatu perusahaan dari P menjadi L1 seperti yang telah didiskusikan sebelumnya dapat menyebabkan terjadinya substitusi sumber input maupun input itu sendiri.
Pada kasus ini, kita akan berasumsi bahwa terdapat sumber input pada titik kuning yang memiliki kualitas serta kuantitas yang sama dengan M1.
Ketika suatu sumber input baru ditemukan, dengan kualitas dan kuantitas yang sama dengan sumber input terdahulu, mungkin saja dilakukan substitusi jika jaraknya lebih dekat (pada gambar diatas jelas bahwa jarak titik kuning ke L1 jauh lebih dekat ketimbang M1 ke L1).
Sekarang perusahaan tersebut menggunakan input dari M2 dan titik kuning, sehingga titik optimumnya pun berpindah dari L1 menjadi L2 atau titik merah.
Titik optimum yang bergeser ini menyebabkan pangsa pasar terdekat juga berubah, sekarang perusahaan tersebut lebih dekat dengan pasar titik hijau ketimbang C sehingga lebih menguntungkan untuk menjual output mereka di pasar titik hijau, tetapi perusahaan tersebut juga tetap dapat beroperasi di pasar C walaupun akan menjadi tidak efisien. Rugi atau tidaknya ditentukan oleh variabel biaya transportasi yang harus dikeluarkan.
Berdasarkan grafik diatas, seharusnya perusahaan terus berpindah mengejar titik optimum, namun kenyataannya perusahaan jarang berpindah, hal ini disebabkan oleh tingginya biaya relokasi dan administrative dalam membuka pabrik baru.
Teori Lokasi Produksi Moses
Pada teori lokasi Weber dan Laundhart, input M1 dan M2 adalah konstan untuk setiap M3 yang diproduksi (rasionya selalu tetap), namun untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi, terkadang perusahaan mensubstitusikan suatu input dengan input yang lebih murah.

Moses menggunakan garis IJ agar jarak terhadap pasar selalu konstan, sehingga yang menjadi variabel adalah rasio antar input. Pendekatan ini menciptakan suatu Envelope Budget Constraint yang merupakan fungsi biaya dari kedua input (m1 dan m2).
Isoquant adalah garis yang mendelineasi wilayah-wilayah yang memiliki jumlah output sama, oleh karena itu, titik optimum dapat dianggap sebagai titik dimana garis isoquant menyentuh garis envelope budget constraint.

Jika suatu saat terjadi pembangunan infrastruktur transportasi pada wilayah input M1, biaya transportasi sumberdaya M1 tentu saja akan menurun, hal tersebut dilambangkan pada grafik diatas yang menunjukkan fenomena perubahan biaya transportasi pada sumberdaya M1. Perubahan harga ini menyebabkan terjadinya perpindahan titik optimum yang tadinya berada di E* menjadi di E’. Dampak dari pergeseran ini adalah jumlah input M1 meningkat dan input M2 berkurang.
Perbedaan Mendasar Model Moses dan Weber
Perbedaan utama dari model Moses dan Weber adalah pada model Weber, variabel input adalah konstan alias tidak dapat diubah sedangkan pada model Moses, variabel input dapat disubstitusi. Selain itu, pada model Weber, rasio input A : input B konstan sedangkan pada model Moses, dapat bervariasi tergantung kebutuhan dan harga.
Contoh dari model Weber adalah industri kendaraan. Perusahaan kendaraan tidak dapat mengganti rasio komponen yang digunakan untuk suatu produk kecuali jika mereka melakukan rilis model baru. Umumnya, industri yang terikat dengan model Weber adalah industri yang sama sekali tidak dapat mengubah rasio dari inputnya. Industri seperti ini meliputi perusahaan dengan model produk baku atau takaran yang baku.
Contoh untuk model Moses adalah tukang nasi goreng. Kita berasumsi bahwa input nasi goreng kambing adalah nasi dan daging kambing, dengan perbandingan 2:1. Jika biaya kambing menjadi lebih mahal, rasio tersebut dapat berubah menjadi 3:1, sedangkan jika harga nasi menjadi lebih mahal, rasio tersebut dapat berubah menjadi 1:1.
Industri makanan ringan juga dapat dianggap sebagai salah satu contoh industri model Moses, kita ambil contoh biscuit. Jika kita amati dari tahun ke tahun, kandungan susu yang ada di biscuit semakin menurun dibandingkan dengan gandum dan bahan lainnya.
Meskipun begitu, rasa dari biscuit tersebut tidak terlalu dipengaruhi dan hasil akhirnya adalah tetap biscuit. Kandungan susu diturunkan karena harganya yang memang lebih mahal jika dibandingkan dengan gandum dan bahan lainnya.
Contoh lain dari model Moses adalah proyek pengerjaan terowongan. Input yang diperlukan adalah tenaga manusia dan tenaga mesin untuk bor. Jika pada lokasi tersebut tidak memungkinkan untuk membawa mesin, maka ketua proyek akan memperbanyak input tenaga manusia dan mengurangi mesin. Jika tidak memungkinkan untuk adanya manusia dalam jumlah banyak, maka ketua proyek akan memperbanyak input mesin dan mengurangi manusia.
Peningkatan Produktivitas dalam model Moses

Jika terdapat perubahan pada produktivitas atau output yang dilambangkan dengan perubahan isoquant dan envelope budget constraint, titik optimum yang dilambangkan dengan A, B, C juga akan berubah sesuai dengan fungsi produksinya. Jika kurva tersebut cenderung kebawah seperti grafik diatas, maka dapat dipastikan bahwa titik optimum akan bergerak menuju m2, sedangkan jika kurva cenderung ke atas, maka titik optimum akan cenderung bergerak menuju m1.